Dua
bulan off posting blog. Karena ngga
ada draft tulisan yang selesai satupun. Bulan Juli lalu saya mengawali karir
sebagai seorang guru madrasah. Cerita versi suami bisa diklik di sini.
Kembali
menjadi warga sekolah, membuat saya teringat kebiasaan saya saat masih
berseragam putih merah. Hampir setiap hari Sabtu saya dan kakak biasanya
menginap di rumah nenek. Pulang Minggu pagi. Jarak rumah beliau dengan rumah
yang kami tinggali kira-kira 5 km. Jalanannya masih tanah. Embun rerumputan mix butiran debu membuat sandal kami
licin tanpa digosok. Kadang kami memilih bagian jalan yang sudah limit1[1]
jika malas kena embun, dingin. Kalau musim hujan, jalanan becek, kami memilih lepas
sendal. Dari pada putus di tengah jalan. Jalanan tanah di musim hujan itu bikin
sandal susah move on. Dari pada susah
kan mending nggak usah. Kalau ada
sepeda atau sepeda motor yang akan lewat di jalan selebar kira-kira 2 meter itu,
kami akan minggir, bukan mundur.
“Nyo, ki nggo cah loro, nggo sangu sekolah
sesuk.”2[2]
Kalimat itu terdengar merdu sekali. (Semoga
mbah putri sehat selalu). Yang menyenangkan ketika pulang dari rumah nenek,
biasanya kami diberi uang saku, kadang 1 ribu, kadang 2 ribu, untuk berdua.
Seingat
saya nasi buatan Bu Basirah itu dulu harganya 2 ratus rupiah satu bungkus. Saya
selalu menikmati kesempatan jajan itu. Karena mungkin hanya ada satu atau dua
kesempatan dalam satu minggu. Selebihnya ibu saya selalu membuat saya sarapan
di rumah, dan membawakan bekal untuk makan di sekolah. Sweet banget. Setelah saya menikah baru saya sadar, apa yang
dilakukan ibu saya itu adalah perjuangan. Melawan ngantuk, memecahkan persoalan
besok anakku sarapan apa, bekal apa. Dan bumbu keikhlasannya itu membuat masakan
ibu menjadi yang paling enak.
Time flies. Memasuki masa-masa sibuk SMP dengan
pilihan eskul. Waktu di sekolah semakin lama. Jeda waktu pulang sekolah dan
eskul yang hanya sekitar 1 jam itu, kadang membuat saya berpikir enak kali ya
bisa jajan di kantin. Nggak usah bawa bekal, berat. Setelah ada kesempatan
untuk jajan di kantin kalau ibu lagi nggak
sempat masak, timbul rasa tidak nyaman. Karena harus buru-buru, berebut,
berdesakan pesan ke ibu kantin. Kadang sudah pesan tapi keserobot yang lain. Dan
akhirnya setelah dapat yang dipesan nggak bisa menikmati makanan. Karena sudah
capek ngantri, ndongkol diserobot, waktu jedanya tinggal dikit.
Dari
sinilah awal mula ketaksukaan beli makan/belanja ditempat rame yang harus
desak-desakan, ngantri tapi srobot-srobotan, apalagi kalau penjualnya budeg, suara keras yang dilayanin
duluan. Serius ogah. Dari pada strok.
Maka
dari itu dengan adanya layanan pesan antar seperti G*food atau G***food, saya
sangat-sangat merasa terbantu. Untuk urusan makanan. Saya merasa selama ongkos
antar wajar, sesuai budget, saya memilih bayar dari pada saya sendiri yang
mengantri. Waktu yang dipakai untuk jalan menuju tempat makan dan mengantri,
menunggu pesanan dibuat, bisa kita pakai untuk urusan yang lain. Lagi-lagi ini
tentang pilihan masing-masing orang. Karena setiap orang punya preferensi.
Di sisi lain, kembali bekerja after
married membuat saya tau alasan mendasar kenapa teman-teman saya dulu
ketika sekolah diberikan uang saku (banyak). Tidak lain adalah tanggung jawab
orang tua mereka untuk memenuhi kebutuhan primer sang anak, pangan. Memastikan
mereka tak kurang satu apapun. Pastinya syarat dan ketentuan berlaku; jangan
boros, jangan jajan aneh-aneh, jangan ini, jangan itu dan jangan yang
lain-lain.
Inilah yang saya sadari, setiap orang tua
memiliki cara mereka sendiri untuk menyayangi anaknya. Memastikan terpenuhi
semua kebutuhannya. Memastikan segalanya terpenuhi dengan layak. Memastikan anak
tak kering akan harapan dan doa. Karena setiap tetes keringat dan air mata
mereka tak lain adalah untuk kita, anaknya.