Friday, May 1, 2020

Mengisolasi Diri (Part 1)

Mengisolasi Diri (Part 1)


Kala itu saya menjalin hubungan dengan seorang teman, kami pacaran. Beberapa waktu berlalu, saya melihat fakta bahwa saya pacaran dengan seorang yang --kau sebut apa untuk cinta pertamamu?-- Secara fisik dia tampan, tinggi badannya mengharuskan saya menengadah sekedar untuk menatap wajahnya. Masih tergambar dengan baik, ya dia berkharisma, katakanlah begitu. Merurut saya, kala itu. Humble, agak slengekan tapi asyik. Saya pertaruhkan sepenuh hati saya untuk laki-laki ini. Masa putih abu selalu bisa menghanyutkan kita pada kerinduan yang mengalir begitu deras tanpa muara. Haaah, hela nafas dulu lah.

Ribuan hari yang sudah kami lewati bersama, ternyata mampu membuat saya benar-benar merasa tak sanggup tanpanya. Ada bayangan, akan sehancur itu, jika nanti akan ada hari tanpa dia--kala itu.

Desau angin bulan Oktober, seakan memberi isyarat. Bahwa dia yang di sana menemukan telinga lain untuk berbisik. Tak apa, hanya firasat, belum tentu benar. Namun, satu persatu suara terdengar jelas. Huruf demi huruf terangkai bercerita tentang dia yang di sana. Mata ini basah karenanya. Jeritan yang tertahan di kerongkongan. Langkah yang terbatas jarak. Membuat saya benar benar berada dalam kenyataan atas apa yang pernah terbayang. Ya, we were done.

Diri saya yang kala itu memutuskan pacaran, sama sekali tidak memiliki bekal apapun kecuali kemampuan untuk menangis. Jadi, tidak tau harus apa ketika rasa kecewa itu tak lagi sanggup diangkat di atas kepala pun dipikul di pundak. Saya tidak siap untuk sakit hati.

Awalnya saya mencoba untuk biasa saja. Tanpa hasil. Hingga akhir dari perjuangan mencoba biasa saja ini adalah memutuskan untuk mengatakan tidak, bahkan sekadar mendengar nama. Semua akses sosial media, blokir. Semua kontak, hapus. Gift, bakar. Barang yang kiranya berharga saya kembalikan. Bahkan ketika teman-teman satu angkatan membuat grup whatsapp, saya memilih untuk leave grup setiap kali ada yang invite untuk masuk. Saya menjadi antipati terhadap semua hal tentang dia.

Antipati yang saya lakukan ini sangat salah, sangat salah. Yang membuat saya sadar waktu itu adalah kalimat ini “Kamu tidak akan merasa kehilangan, jika kamu tidak merasa memiliki”. Mendengar kalimat ini seperti tersadar dari lamunan. Ya, siapa saya. Sikap yang saya tampakkan selama ini adalah wujud kekecewaan, karna tidak lagi memiliki. Bagaimana bisa dia menjadi milik saya, sedang Tuhan pemilik segalanya. Bagaimana mungkin saya menarik kembali hatinya, sedang Tuhanlah yang Maha membolakbalikkan hati. Bagaimana mungkin saya berharap terus bersamanya, sedang Tuhanlah yang berkuasa atas hidup dan mati. Kalimat ini membuat saya akhirnya melepaskan sedikit demi sedikit kekecewaan itu.

Sebesar apapun kekecewaan yang saya tampakkan, ketika saya menyadarinya, saya lantas menertawakan diri sendiri. Waktu kembali memuaskan saya dengan satu kutipan: “Dahan yang dipotong dari dahan sebelahnya juga terputus dari pohon keseluruhan. Begitu juga manusia yang terpisahkan dari manusia lain juga terputus dari masyarakat keseluruhan. Dahan pohon dipatahkan oleh orang lain, tetapi manusia mematahkan diri mereka sendiri --melalui kebencian dan penolakan-- dan tidak menyadari bahwa mereka telah memotong diri mereka dari seluruh masyarakat. Kita memang bisa melekatkan lagi menjadi bagian dari keseluruhan. Akan tetapi, jika kita memotong diri terlalu sering,maka akan makin sulit untuk melekatkan diri kembali. Kamu bisa melihat perbedaan antara dahan yang selalu tumbuh di sebuah pohon , dan dahan yang sudah pernah dipotong dan dilekatkan kembali.” --Marcus Aurelius (Meditation). Ya benar, saya mematahkan diri dengan kebencian dan penolakan itu. Tanpa disadari saya pun memutus kontak dengan orang lain, dengan teman-teman, yang seharusnya itu tidak perlu saya lakukan. Entah kesempatan apa saja yang akhirnya saya lewatkan akibat antipati ini. Hal yang membuat saya semakin terpuruk hari itu bukan karna dia ninggalin saya, tapi reaksi saya yang salah, karena ketidaktahuan dan ketidaksiapan.


The end of part 1



referensi:
The Subtle Art of Not Giving a F*ck, Mark Manson
Filosofi Teras, Henry Manampiring

10 comments: