Hiruk pikuk penerimaan peserta
didik baru sudah berlalu. Segala penyesuaian, pengaduan, kepasrahan, atas
dampak pandemi COVID-19 yang telah kita telan hingga muntah, membuat diri
merasa sudah begitu muak. Astaghfirullahalazim. Pembelajaran daring
tahun ajaran baru sudah dimulai pada pertengahan bulan Juli lalu. Satu setengah
bulan yang begitu menarik untuk saya ceritakan. Mulai menjadi wali kelas online,
yang mana anaknya belum pernah ketemu. Hingga lembur sampai pagi bikin konten
pembelajaran, setelah di-upload ternyata tidak begitu menarik perhatian anak.
Kegelisahan yang begitu
mengganggu dan membuat tidur tidak nyenyak. Inilah bentuk refleksi diri yang
saya tuangkan, kekhawatiran mendalam dari lubuk hati yang saya tuliskan.
Sebagai seorang guru pemula, yang baru saja mengajar, 1 tahun ajaran (tanpa
pengalaman mengajar sebelumnya) rasanya masih belum cukup membuat saya
percaya diri dengan pasti untuk mengenali lingkungan sekolah, suasana kerja, apalagi
karakteristik peserta didik.
Lingkungan sekolah, dalam
satu hari sudah pasti tau dimana letak toilet, paling urgen. Dua, tiga
hari sampai satu bulan, cukup tahu dimana anak nongkrong kalau sudah masuk jam
pelajaran tapi anak belum ada di kelas, yang mana kakak OSIS paling
digandrungi, sampai ke cerita horror di sudut-sudut ruang. Jika ini ujian,
mengenal lingkungan sekolah mungkin skor tertinggi yang saya dapatkan.
Suasana kerja, yang perlu
saya syukuri adalah, sebelumnya saya pernah bekerja, pada sebuah perusahaan. Tahu
bagaimana rasanya dikejar dedline. Tetapi, yang cukup terasa beda adalah, pertama,
saya sering membawa pulang kerjaan, entah koreksian, entah laporan, sampai ditelfon
orang tua nanyain anaknya dimana. Dimanakah
letak salahnya? Apakah pekerjaan yang saya lakukan tidak effisien, sampai
begitu boros waktu. Mungkin saya belum menemukan saja rumusan yang paling
gampang. Kedua, segala bentuk tutur kata, perilaku, sikap, bahkan
pakaian, menjadi perhatian semua orang, baik teman sejawat maupun, utamanya,
adalah anak-anak. Mana bisa bilang anjay, terkutuklah seketika itu.
Mengenakan kerudung panjang pun dinilai kurang pas, karena sekolah, bukan
majelis taklim. Raut wajah pun tak luput. Ada hikmah pula rupanya work from
home, karena muka saya bukan tipe muka smile, memaksa diri untuk smile
itu lelah. Di rumah bisa bekerja dengan bentuk muka suka-suka. Terlalu banyak
bicara atau terlalu banyak diam juga tidak baik, teorinya. Tetapi, saya lebih
suka diam dan mendengarkan, itung-itung tidak nambah dosa. Alhamdulilahnya,
saya punya senior yang begitu luar biasa. Ngemong, menasehati, mengayomi, dan
selalu memberikan saran terbaik. Bagaimanapun suasana kerjanya, semoga nyala
semangat tidak padam oleh halang rintang.
Karakteristik peserta didik,
inilah PR yang tidak pernah selesai dikerjakan. Rasanya untuk belajar mengenal
orang lain, harusnya diri ini sudah paham dengan pribadi sendiri. Di sinilah
selalu dilema itu muncul. Egoisme dan ke-aku-an. Pertama kali menjadi wali
kelas, saya begitu senang dengan anak-anak yang antusias meskipun lewat grup
wa. Satu bulan berjalan, mungkin ada yang bisa menebak, ya, mereka punya grup
wa sendiri. Yang biasa dipakai untuk gibahin mapel pada saat zoom berlangsung,
antara curhat kalau ngga paham, ngantuk dan bosen. Lalu grup ini juga biasa
dipakai untuk sharing tugas. Kan nggak mungkin ngelakuin ini di grup
yang ada wali kelas (online)nya. Apakah semua orang tua tahu tentang ini
ya?
Saya menangkap sebuah kesalahpahaman
dari kegiatan belajar online ini. Terlepas dari masa pandemi atau bukan. Hal
ini saya sadari dari seorang teman, yang menceritakan bahwa jauh hari sebelum pandemic
berlangsung, dia berkenalan dengan salah seorang anak home schooling
dari luar Indonesia. Semua modul, dan pembelajaran dilakukan secara daring. Hanya
ke sekolah beberapa kali dalam satu semester untuk menempuh ujian. Terbiasa
mengelola kebutuhan belajar sendiri, mata pelajaran apa yang harus ditempuh,
berapa nilai yang diperoleh, sumber mana yang bisa dipakai untuk belajar, dan
kapan waktunya belajar. Komitmen dan kesadaran diri pada diri pribadinya untuk
menyelesaikan jenjang pendidikan, DENGAN BAIK.
Lalu dimana letak kesalahpahamannya? Saat ini banyak anggapan bahwa sekolah daring ini isinya tugas. Ini yang menarik. Saya akan analogikan dengan orang dan segelas minuman. Bagaimana kita tahu orang telah meminum air dalam gelas? Mungkin dari melihat dia minum, mendengar dia meneguk air, melihat bibirnya basah, melihat air dalam gelas yang berkurang, atau letak gelas bergeser. Ada tanda-tanda yang bisa dilihat.
Saya tidak pungkiri bahwa saya sendiripun
ketika sekolah daring ini di mulai sekitar akhir bulan Maret 2020, saya harus menempuh
beragam cara untuk menyesuaikan diri. Namun saya sadari komunikasi 2 arah
sangat diperlukan, dalam hal ini. Inilah mengapa banyak pasangan LDR gagal. Karena
tidak ada komunikasi 2 arah.
Apa hubunganya dengan
pembelajaran daring. Sebagai guru, sebisa mungkin saya menyiapkan materi dengan
baik, Alhamdulillah saya di kota jadi kendala jaringan minim. Bagaimana saya
tahu anak belajar, memahami materi yang saya sampaikan, saya membuka konsultasi
melalui chat, dan memberikan latihan soal yang kemudian diposting pada platform
digital sekolah. Selain itu, saya menggunakan Youtube untuk mempermudah
penyampaian materi. Hal mengejutkan yang saya terima adalah, pada saat saya
memberikan latihan rata-rata klik lebih banyak. Saya tunjukkan 2 pertemuan
terakhir berikut ini.
Ini adalah hasil tangkapan layar
dari platform digital sekolah yang saya gunakan. Dengan mencantumkan latihan
soal.
Dan ini adalah hasil tangkapan
layar dari analisis youtube studio saya. Durasi Video yang saya unggah adalah
18 menit, dari analisis, rata-rata tonton adalah 4 menit 19 detik. Bisa dihitung
jika sekali skip 10 detik maka berapa kali skip mereka tekan sampai video ini
habis, atau 4 menit lalu sudah tutup, karena dianggap sudah nonton maka sudah
gugur kewajiban. Melihat ini saya cukup anggukkan kepala. Kemudian, asumsikan
bahwa semua view ini adalah seluruh peserta didik, dari total 200 sekian total
viewnya 172, anggaplah sisanya tidak ada kuota.
Lalu, saya akan tunjukkan pekan
terakhir bulan ini di hari Sabtu lalu. Inilah hasil tangkapan layar dari
platform digital sekolah yang saya gunakan. Tanpa ada latihan soal.
Mungkin analisis diatas tidak
sepenuhnya dapat dipakai sebagai dasar. Saya pun bingung untuk menyimpulkan. Apakah
ini artinya harus ada tugas baru anak belajar? Atau bagaimana? Tetapi
setidaknya bagi saya pribadi saya bersyukur dan berterimakasih pada Youtub
Studio, dari analisis ini saya menyadari, apa yang saya usahakan belum tentu
menjadi wujud keberhasilan. Saya tidak ingin kesalahpahaman ini berbuntut Panjang.
Saya tidak ingin kebiasaan hanya belajar ketika ada tugas ini berlanjut sampai menjadi
karakter anak hanya melakukan sesuatu ketika disuruh atau ketika ada imbalannya.
Tidak bisa membuat komitmen, bahkan terhadap diri sendiri, tidak sadar akan
kebutuhan, bahkan untuk hidupnya sendiri. Orang yang tidak tau kapan dia haus,
kapan harus minum, apa yang harus dia minum, dan baru sadar ketika radang mulai
memenuhi tenggorokannya. Atau bahkan ketika ginjalnya bermasalah. Maka sudah terlambat.
Bagaimana kita memperbaiki
kesalahpahaman ini? Dengan berhenti menganggap sekolah daring adalah tugas. Dengan
menyadarkan diri bahwa belajar adalah kebutuhan. Belajar adalah kewajiban
setiap umat. Keterbukaan, kesadaran
diri, komitmen, dan komunikasi yang baik akan membantu meluluskan hubungan LDR
ini. Semoga pandemi segera berakhir. Aamiin.
Oiya bner, manusia makhluk berakal yang sngat pandai beradaptasi. Hahaha sekaligus (masih ada) yang susah move on. Secara fisik iya, belajarnya sudah pindah di rumah, nggak ketemu guru, pake hape/gawai, tapi mindsetnya masih belum move on, baru mau belajar saat ditunggui orang tua, baru mengerjakan saat diberitahu tugas akan dimasukkan dalam penilaian.
ReplyDeleteSemangat ibu guruku ♡
ReplyDeleteThankyou Aldo. Semangat 💪
Delete