Sunday, September 1, 2019

WHAT I REALIZED IS


Dua bulan off posting blog. Karena ngga ada draft tulisan yang selesai satupun. Bulan Juli lalu saya mengawali karir sebagai seorang guru madrasah. Cerita versi suami bisa diklik di sini.

Kembali menjadi warga sekolah, membuat saya teringat kebiasaan saya saat masih berseragam putih merah. Hampir setiap hari Sabtu saya dan kakak biasanya menginap di rumah nenek. Pulang Minggu pagi. Jarak rumah beliau dengan rumah yang kami tinggali kira-kira 5 km. Jalanannya masih tanah. Embun rerumputan mix butiran debu membuat sandal kami licin tanpa digosok. Kadang kami memilih bagian jalan yang sudah limit1[1] jika malas kena embun, dingin. Kalau musim hujan, jalanan becek, kami memilih lepas sendal. Dari pada putus di tengah jalan. Jalanan tanah di musim hujan itu bikin sandal susah move on. Dari pada susah kan mending nggak usah. Kalau ada sepeda atau sepeda motor yang akan lewat di jalan selebar kira-kira 2 meter itu, kami akan minggir, bukan mundur.

Nyo, ki nggo cah loro, nggo sangu sekolah sesuk.”2[2] Kalimat itu terdengar merdu sekali. (Semoga mbah putri sehat selalu). Yang menyenangkan ketika pulang dari rumah nenek, biasanya kami diberi uang saku, kadang 1 ribu, kadang 2 ribu, untuk berdua.

Seingat saya nasi buatan Bu Basirah itu dulu harganya 2 ratus rupiah satu bungkus. Saya selalu menikmati kesempatan jajan itu. Karena mungkin hanya ada satu atau dua kesempatan dalam satu minggu. Selebihnya ibu saya selalu membuat saya sarapan di rumah, dan membawakan bekal untuk makan di sekolah. Sweet banget. Setelah saya menikah baru saya sadar, apa yang dilakukan ibu saya itu adalah perjuangan. Melawan ngantuk, memecahkan persoalan besok anakku sarapan apa, bekal apa. Dan bumbu keikhlasannya itu membuat masakan ibu menjadi yang paling enak.

Time flies. Memasuki masa-masa sibuk SMP dengan pilihan eskul. Waktu di sekolah semakin lama. Jeda waktu pulang sekolah dan eskul yang hanya sekitar 1 jam itu, kadang membuat saya berpikir enak kali ya bisa jajan di kantin. Nggak usah bawa bekal, berat. Setelah ada kesempatan untuk jajan di kantin kalau ibu lagi nggak sempat masak, timbul rasa tidak nyaman. Karena harus buru-buru, berebut, berdesakan pesan ke ibu kantin. Kadang sudah pesan tapi keserobot yang lain. Dan akhirnya setelah dapat yang dipesan nggak bisa menikmati makanan. Karena sudah capek ngantri, ndongkol diserobot, waktu jedanya tinggal dikit.

Dari sinilah awal mula ketaksukaan beli makan/belanja ditempat rame yang harus desak-desakan, ngantri tapi srobot-srobotan, apalagi kalau penjualnya budeg, suara keras yang dilayanin duluan. Serius ogah. Dari pada strok.

Maka dari itu dengan adanya layanan pesan antar seperti G*food atau G***food, saya sangat-sangat merasa terbantu. Untuk urusan makanan. Saya merasa selama ongkos antar wajar, sesuai budget, saya memilih bayar dari pada saya sendiri yang mengantri. Waktu yang dipakai untuk jalan menuju tempat makan dan mengantri, menunggu pesanan dibuat, bisa kita pakai untuk urusan yang lain. Lagi-lagi ini tentang pilihan masing-masing orang. Karena setiap orang punya preferensi.

Di sisi lain, kembali bekerja after married membuat saya tau alasan mendasar kenapa teman-teman saya dulu ketika sekolah diberikan uang saku (banyak). Tidak lain adalah tanggung jawab orang tua mereka untuk memenuhi kebutuhan primer sang anak, pangan. Memastikan mereka tak kurang satu apapun. Pastinya syarat dan ketentuan berlaku; jangan boros, jangan jajan aneh-aneh, jangan ini, jangan itu dan jangan yang lain-lain. 

Inilah yang saya sadari, setiap orang tua memiliki cara mereka sendiri untuk menyayangi anaknya. Memastikan terpenuhi semua kebutuhannya. Memastikan segalanya terpenuhi dengan layak. Memastikan anak tak kering akan harapan dan doa. Karena setiap tetes keringat dan air mata mereka tak lain adalah untuk kita, anaknya.



Doc:  anggadiandry



[1] Jalanan tanah yang tak lagi ditumbuhi rumput karena sering dilewati

[2] “Ini untuk kalian berdua, untuk uang saku sekolah”
Continue reading WHAT I REALIZED IS